ABSTRAK
Pengalaman Pasien Sindrom Guillain-Barre Pada Saat
Kondisi Kritis dipersepsikan berbeda oleh setiap pasien. Penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif fenomenologi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam pengalaman fisik,
psikologis, spiritual dan sosial pasien Sindrom Guillain-Barre pada saat
kondisi kritis di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung. Penelitian ini melibatkan 4 partisipan Sindrom Guillain-Barre. Pasien
yang menjadi partisipan adalah yang teridentifikasi mempunyai pengalaman
dirawat diruang intensif dan mampu menceritakan pengalamannya. Pengumpulan data
dilakukan dengan tehnik wawancara mendalam. Metode yang digunakan untuk analisa
data yaitu metode Colaizzi. Setelah data dianalisa, peneliti dapat
mengidentifikasi pengalaman pasien Sindrom Guillain-Barre, pada saat kondisi
kritis. Terdapat 5 tema pengalaman fisik: badan lemah, sesak nafas, rasa baal,
nyeri tenggorokan dan batuk. Ada 3 tema pengalaman psikologis: tidak percaya, sedih
dan takut. Terdapat 2 tema pengalaman spiritual: seperti diambang kematian dan
pasrah. Terdapat 3 tema pengalaman sosial: dukungan keluarga yang positif,
tidak bisa berbicara dan tidak bisa berinteraksi. Hasil penelitian bermanfaat
untuk meningkatkan sikap caring perawat pada pasien saat kondisi kritis, pada
kebutuhan fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Perawat tidak hanya berfokus
dalam pemenuhan kebutuhan fisik saja tetapi kebutuhan psikologis, spiritual dan
sosial sangat dibutuhkan sebagai upaya memberikan motivasi untuk sembuh pada
pasien Sindrom Guillain-Barre.
Kata kunci : Sindrom Guillain-Barre, Pengalaman, Kondisi Kritis, Fisik,
Psikologis,
Spiritual, Sosial.
ABSTRACT
The experiences of patients with Guillain-Barre
Syndrome during a critical condition is perceived differently by different
patients. This research used a qualitative research with a
descriptive-phenomenological approach. The objective of this research was to
deeply describe physical, psychological, spiritual, and social experiences of
patients with Guillain-Barre Syndrome during a critical condition at dr. Hasan
Sadikin Bandung Public Hospital’s Intensive Care Unit (ICU). This research
involved 4 participants of Guillain-Barre Syndrome. Those patients who were
selected as participants were identified as having an experience of being treated
at an intensive room and capable of telling their experiences. Data collection was
conducted by an in-dept interview technique. The method used for data analysis was
Colaizzi method. After the data has been analyzed, the researcher could
identify the experiences of patients with Guillain-Barre Syndrome during a
critical condition. There were 5 themes of physical experiences: malaise,
short-winded, numb, throat pain, and cough. There were three themes of
psychological experiences: unbelief, distressing, and fearful. There were two
themes of spiritual experiences: like being at the edge of dying and sense of
submission. There were three themes of social experiences: positive family
support, unable to speak, and enable to interact.The findings of research were
useful for enhancing the caring attitude of nurses to their patients during a
critical condition and to physical, psychological, spiritual, and social needs.
Nurses should focus not only on the fulfillment of physical needs but psychological,
spiritual, and social needs are also strongly needed as an attempt to provide a
motivation to recovery to patients with Guillain-Barre Syndrome.
Keywords: Guillain-Barre Syndrome, Experience, Critical Condition, Physical,
Psychological, Spiritual, Social.
PENDAHULUAN
Sindrom Guillain-Barre (SGB) yaitu penyakit autoimun
yang menyerang selubung myelin pembungkus saraf perifer, yang merupakan
penyebab utama acute flaccid paralysis (Parry, 1993). SGB umumnya
terjadi didahului oleh adanya infeksi pernafasan, gastrointestinal sekitar 1 –
4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik (Asbury, 1981). Sistem kekebalan
tubuh menghancurkan selubung myelin dan akson, sehingga saraf tidak dapat
mengirim sinyal secara efisien ke otak. Gejala yang ditimbulkan berupa
kelemahan dan sensasi kesemutan di kaki dan tangan, ketidakmampuan berjalan,
kesulitan gerakan mata, wajah, berbicara, mengunyah atau menelan dan rasa sakit
di punggung bagian bawah, sulit mengontrol kandung kemih atau fungsi usus. SGB
apabila tidak tertangani dari awal timbulnya gejala dapat mengakibatkan
kelumpuhan yang bisa menyebabkan kematian (Parry, 1993). Komplikasi paling
berat pada penderita SGB yaitu kematian, yang disebabkan oleh kelemahan atau
paralisis pada otot – otot pernafasan, dimana angka mortalitas sekitar 5% bila
terjadi paralisis pernapasan. Kematian pada SGB biasanya disebabkan oleh
pneumonia, sepsis dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (Van
koningsveld, 2002).
Gejala SGB sampai pada kondisi penderita menjadi
lumpuh bisa berlangsung beberapa hari dan bisa memburuk dengan cepat dalam
beberapa jam. SGB dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis yang membutuhkan
perawatan intensif, karena perjalanan penyakit yang begitu cepat.
Sekitar
30% terjadi kesulitan bernafas dan memerlukan bantuan ventilasi mekanik. Beberapa
kriteria yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan penggunaan ventilasi
endotrakeal adalah waktu antara terjadinya onset hingga masuk rumah sakit kurang
dari 7 hari, tidak mampu batuk, tidak mampu berdiri, tidak mampu mengangkat
kedua lengan. Adanya minimal satu dari indikasi tersebut sudah merupakan
indikasi perawatan di Intensive Care Unit (ICU) (Mahfoed, 2003).
Pasien dirawat di ruang intensif dan harus berjuang
melewati kondisi kritis, dari beberapa kasus bahwa pasien mengalami koma dan
akhirnya meninggal, adapula yang mampu melewati kondisi kritis (Parry, 1993). Tingkat
kesembuhan pasien SGB mencapai full and functional recovery dalam waktu
6 – 18 bulan, 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa
yang ringan berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal seperti kesemutan atau baal.
Bagaimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia,
dan parestesia. Sekitar 7 – 15% pasien memiliki gejala neurologis sisa yang
menetap termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas,
sensori ataxia, dan disestesia. Sejumlah 50% mengalami masalah koordinasi yang
lebih serius dan permanen sehingga menyebabkan disabilitas berat dan 10%
diantaranya beresiko mengalami relaps karena dipengaruhi oleh faktor
usia. SGB sering menyerang pada usia produktif yaitu 15 – 35 tahun dan sulit
untuk disembuhkan secara sempurna apabila mengenai pasien dengan usia 50 – 60
tahun (Asbury, 1981).
Angka kejadian penyakit ini di seluruh dunia antara
1 – 2 kasus per 100.000 penduduk per tahun, insidensi lebih tinggi terjadi pada
perempuan daripada laki – laki dengan perbandingan 2 : 1 (Swanson, 1998). Di
Indonesia belum banyak didapatkan gambaran epidemiologik pada SGB Candra pada
pengamatan selama 16 tahun di surabaya (1 Januari 1957 – 1 Januari 1973)
mendapatkan pasien terbanyak pada dekade I - III (Budiarto, 1998). Pada
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung oleh
Hamiprodjo selama 1,5 tahun (1 Mei 1984 – 31 Oktober 1985) telah dirawat
penderita SGB sebanyak 81 penderita, didapatkan 75 % pria dan 25 % wanita. Dari
hasil penelitian Nugraha di RSHS selama 5 tahun (1 Januari 1993 – 31 Desember
1997) didapatkan penderita sebanyak 87 orang. SGB bukan termasuk penyakit
genetik, tidak dapat diturunkan, tidak menular dan bisa menyerang semua umur.
Pada sebagian kasus penyakit SGB bisa meninggalkan gejala sisa secara fisik
berupa kelumpuhan (Asbury, 1981).
Kelumpuhan yang terjadi pada SGB biasanya diawali
pada anggota gerak bagian bawah dan mengenai otot – otot distal maupun
proksimal. 2/3 kasus dapat menunjukkan adanya gangguan sensorik pada onset,
namun abnormalitas sensorik pada pemeriksaan sering hanya minimal. Hilang atau
menurunnya refleks ditemukan pada sebagian besar pasien. Dapat ditemukan pula
gangguan saraf kranial serta otonom. Rasa kesemutan, nyeri kaki dan tangan
seperti ditusuk – tusuk, serta kelemahan tangan dan kaki sehingga tidak mampu
menggenggam sesuatu. Gejala lain yaitu kehilangan refleks kaki dan tangan,
gerak anggota tubuh tak terkontrol, tekanan darah naik turun, mati rasa, serta
kejang otot. Selain itu, pandangan kabur, sulit menggerakkan otot wajah, sulit
bicara, dan berdebar – debar. Dampak dari gejala fisik yang timbul
mengakibatkan pasien SGB membutuhkan total care dari orang disekitarnya,
tidak hanya dukungan fisik yang mereka butuhkan tetapi juga dukungan secara psikologis,
spiritual dan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup pasien SGB (Parry, 1993).
Pengalaman adalah suatu peristiwa atau kejadian yang
sudah dilewati seseorang dalam perjalanan kehidupannya, terlepas dari sengaja
ataupun tidak, terlepas dari baik ataupun buruk dan juga terlepas dari
menyenangkan ataupun sebaliknya. Pasien yang mampu melewati kondisi kritis pada
saat sakit, mempunyai pengalaman yang bermakna dalam hidupnya. Pengalaman
tersebut adalah modal yang sungguh berarti bagi pasien yang mengalaminya dan
bagi orang lain. Gejala nyata yang bisa kita rasakan dari pengalaman orang lain
membuat arti dari sebuah pengalaman merupakan hal yang terpenting dari
perjalanan kehidupan seseorang, sepertinya ada keharusan bagi kita untuk
mengelola pengalaman – pengalaman yang kita miliki secara benar dan cermat,
agar bisa mendapatkan sesuatu yang berharga dari pengalaman tersebut (Keeling
& Ramos, 1995).
Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung,
jumlah pasien dengan SGB yang di rawat di ruang Intensive Care Unit (ICU)
pada bulan Oktober 2010 – Oktober 2011 sebanyak 7 pasien. Rata – rata waktu lama
rawat di ruang ICU lebih dari 1 bulan dengan terpasang ventilasi mekanik dan
rata – rata berusia sekitar 19 – 20 tahun, semua pasien mengalami perbaikan
status hemodinamik dan mampu melewati kondisi kritis walaupun masih
meninggalkan gejala sisa secara fisik. Selama pasien di rawat kebutuhan sehari
– hari di ruang ICU sebagian besar dibantu oleh perawat. Peran perawat hanya
berfokus pada status hemodinamik pasien dan pemberian perawatan fisik masih
menjadi tujuan utama, sedangkan pemberian perawatan secara psikologis belum
optimal dilakukan oleh perawat. Dari ungkapan yang pasien rasakan, pasien lebih
membutuhkan pendampingan baik dukungan psikologis ataupun spiritual dan tidak
hanya berfokus pada dukungan fisik. Pasien mengungkapkan selalu ingin diberikan
motivasi secara bersamaan di setiap tindakan
yang
dilakukan oleh perawat pada saat berhadapan langsung dengan pasien. Pada
dasarnya penyakit SGB berbeda dengan penyakit neurologi lainnya, penyakit ini
menyerang pada bagian sistem saraf perifer yang menyebabkan kelumpuhan terjadi
secara simetris lebih dari satu anggota gerak, jarang yang asimetris.
Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja dan dapat pula
terjadi paralysis total keempat anggota gerak terjadi secara cepat, dalam waktu
kurang dari 72 jam, keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis. Pasien
SGB berada pada kondisi kritis karena mengalami depresi pada otot – otot
pernafasan dan harus dirawat di ruang intensif, tetapi tidak sampai menimbulkan
koma dan hanya mengalami penurunan kesadaran pada tingkat somnolen (Parry,
1993).
Pada pasien dengan SGB kerusakan bukan terdapat pada
susunan saraf pusat sehingga tidak sampai menimbulkan keadaan koma, tetapi
pasien bisa mengalami ancaman kematian karena mengalami kesulitan bernafas. Tanda
khas pada penyakit SGB yaitu penilaian melalui cairan serebrospinal (CSS),
disosiasi albinositologik bahwa peningkatan protein serebrospinalis tanpa
peningkatan jumlah sel. Penilaian CSS digabungkan dengan gejala – gejala klinis
tertentu, akan mengarah kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya
dengan poliomyelitis dan neuropati lainnya. Pada pasien dengan paralysis
memiliki jiwa yang was – was dan takut. Menenangkan pasien dan diskusi tentang
fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress psikologi. Fenomena
pasien SGB yang mengalami perawatan yang cukup lama di ruang ICU sekarang
sedang bermunculan. Bahwa pasien SGB yang di rawat di ruang intensif tidak
sampai mengalami kondisi koma, tetapi dapat mengakibatkan kematian. Pasien
berada dalam kondisi kritis tetapi tidak sampai berada dalam kondisi koma.
Sehingga peneliti merasa tertarik untuk menggali lebih dalam
pengalaman
pasien SGB pada saat kondisi kritis. Respon pasien terhadap pengalaman di rawat
sangat bervariasi. Namun, belum banyak dilaporkan secara tertulis hasil – hasil
studi yang terkait dengan fenomena tersebut. Kebutuhan apa saja yang diperlukan
untuk memberikan perawatan pasien SGB pada saat kondisi kritis yang dirawat
dirumah sakit berkaitan dengan faktor fisik, psikologis, spritual dan sosial.
Oleh sebab itu, untuk menambah pengetahuan ilmiah yang dibutuhkan perawat,
sehingga perawat bisa memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan meningkatkan
sikap caring perawat pada pasien SGB saat kondisi kritis, maka peneliti
tertarik untuk mempelajari fenomena pengalaman pasien dengan SGB berdasarkan
cerita dan ungkapan langsung dari pasien yang pernah mengalami kondisi kritis
melalui pendekatan fenomenologi.
METODOLOGI
PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan descriptive phenomenology. Desain
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, Setting tempat
pemilihan pasien yaitu pasien yang pernah masuk di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung dan mengalami perawatan di ruang ICU. Instrumen penelitian adalah
peneliti sebagai human instrument, pedoman wawancara menggunakan pedoman
semi structure interview, alat perekam suara (vioce recorder) Penelitian
ini melibatkan 4 partisipan. Tehnik yang digunakan untuk menentukan subjek
penelitian yaitu menggunakan “Purposive atau Judgement Sampling“.
Dalam penelitian ini kriteria inklusi partisipan adalah:
1. Pasien
Sindrom Guillain-Barre yang pernah dirawat di ruang intensif karena mengalami
kondisi kritis
2. Mampu
berkomunikasi dengan bahasa indonesia
3. Kooperatif
4. Bersedia
menjadi partisipan dalam penelitian
5. Masa
perawatan dirumah kurang lebih 3 – 6 bulan setelah masa perawatan di rumah
sakit. Dengan waktu 3 – 6 bulan masa perawatan di rumah sakit diharapkan
partisipan sudah bisa berbicara dengan jelas.
6. Tidak
mengalami kecacadan
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini dianalisis menggunakan langkah
– langkah dari metode Colaizzi (1978), untuk menghasilkan tema – tema yang
esensial yang selanjutnya di deskripsikan dalam bentuk naratif pada penyajian
hasil penelitian.
1. Pengalaman
Fisik Pada Saat Kondisi Kritis Hasil penelitian pengalaman fisik pada saat
kondisi kritis didapatkan lima tema adalah: 1) Badan Lemah, 2) Sesak Nafas, 3)
Rasa Baal, 4) Nyeri Tenggorokan dan 5) Batuk.
a. Badan
Lemah
Gangguan
muskuloskeletal yang menonjol yaitu berkurangnya kekuatan otot. Kelemahan otot
disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari medulla
spinalis ke neuromuscular junction. Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat
banyaknya motor unit atau semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi,
sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese)
terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi
saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena
hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan
satu otot, sehingga penderita SGB lebih cepat lelah. Bila otot tidak bisa
berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi
dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang
terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan otot dan keterbatasan luas gerak
sendi. Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi jumlah motor
unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga terjadi kelemahan
otot atau lumpuh sama sekali, pemendekan otot dan pada akhirnya keterbatasan
gerak sendi (Price &Wilson, 1995).
b. Sesak
Nafas
Proses
kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena
akan terjadi kelemahan otot – otot pernafasan, yaitu otot intercostal. Bila
menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan. Oleh karena otot-otot
intercostal dan diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang.
Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi
juga menurun.
c. Rasa
Baal
Gejala
lain yang dirasakan penderita SGB adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa
yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri. Pola
penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat.
Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut
menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri juga terjadi akibat sebuah sendi
tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Kadangkala nyeri murni disebabkan oleh
gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinasi gangguann
sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan. Selain gangguan rasa yang
berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi.
Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan
dekubitus. Oleh karenanya perawat perlu memperhatikan mobilisasi partisipan
saat berada di atas tempat tidur, karena tekanan yang lama pada daerah yang
menonjol menyebabkan sirkulasi darah pada daerah yang mengalami penekanan tidak
adekuat sehingga bisa menyebabkan timbulnya luka dekubitus (Price &Wilson,
1995).
d. Nyeri
Tenggorokan
Partisipan
mengungkapkan terasa nyeri di tenggorokan pada saat di suction. Karena
penghisapan lendir yang dilakukan pada selang endotrakea menimbulkan
ketidaknyamanan pada partisipan dan bahaya potensial, penghisapan harus
dilakukan hanya bila diindikasikan dan frekuensinya tidak ditentukan (Berman,
2009). Pemasangan ventilasi mekanik melalui jalan trakeostomi merupakan sebuah
benda asing yang masuk ke dalam tenggorokan sampai dengan melewati glottis yang
menyebabkan rasa tidak nyaman pada daerah tenggorokan (Price &Wilson,
1995). Beberapa gejala yang dikeluhkan partisipan pada tindakan trakeostomi
antara lain adalah: nyeri tenggorok (sore throat)(Christensen, 1994).
e. Batuk
Beberapa
gejala yang dikeluhkan pasien pada pemasangan selang endotrakeal selain nyeri
tenggorok (sore throat) adalah batuk (cough)(Christensen, 1994). Batuk
yang timbul pada partisipan dikarenakan produksi sekret yang meningkat. Dalam
keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekret saluran
pernafasan. Pembersihan sekret merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh,
namun apabila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan
kerja silia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran
pernafasan.
2. Pengalaman
Psikologis Pada Saat Kondisi Kritis
Hasil
penelitian pengalaman psikologis pada saat kondisi kritis didapatkan tiga tema
adalah: 1) Tidak Percaya, 2) Sedih dan 3) Takut.
a. Tidak
Percaya
Hasil
intrepretasi pada saat keadaan psikologis dari ungkapan partisipan sebagian
besar menyampaikan tidak percaya, partisipan dalam keadaan seperti ini berada
dalam tahapan berduka menolak (denial), pasien merasa tidak percaya
dengan apa yang sedang terjadi pada kondisi sakitnya (Kubler Ross,1969). Respon
pasien pada tahapan berduka berbeda setiap individu, sehingga implikasi
keperawatan yang diberikan harus disesuaikan dengan tahapan berduka pada
pasien. Dalam keadaan denial (menolak) pasien membutuhkan dukungan
kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan, perawat menawarkan diri untuk
tetap bersama partisipan dan memberikan perawatan dasar sesuai dengan
kebutuhannya.
b. Sedih
Kesedihan
yang dirasakan partisipan pada saat kondisi kritis yaitu karena keadaan
sakitnya, partisipan tidak bisa beraktivitas secara normal seperti ketika
sebelum sakit. partisipan tidak bisa kuliah, tidak bisa beraktivitas seperti
biasanya, merasa kasian dan merepotkan orang tua. Sedih merupakan ekspresi
partisipan pada awal di rawat di rumah sakit.
c. Takut
Takut
yang dirasakan oleh partisipan adalah pada saat dipasang ventilator dan pada
saat akan dilakukan tindakan suction. Tindakan invasif yang belum pernah
dirasakan oleh partisipan merupakan suatu hal yang asing untuk dihadapi.
Ketakutan yang muncul penyebabnya adalah keadaan yang bisa terlihat atau nyata,
dimana tindakan pemasangan ventilator dan suction merupakan tindakan
khusus yang dilakukan hanya pada saat – saat tertentu di rumah sakit.
3. Pengalaman
Spiritual Pada Saat Kondisi Kritis
Hasil
penelitian pengalaman spiritual pada saat kondisi kritis didapatkan dua tema
adalah: 1) Seperti diambang kematian dan 2) Pasrah.
a. Seperti
diambang kematian
Pasien
dalam keadaan koma tidak mempunyai respon, kecuali secara refleks, terhadap
segala stimulus. Pada keadaan koma yang dalam, bahkan pasien tidak bereaksi
terhadap nyeri (Willms, 2003). Pada kondisi kritis kondisi tubuh yang menurun
secara tajam akibat gangguan fungsi organ vital seperti gangguan jalan nafas
dan pernafasan, gangguan jantung dan peredaran darah serta gangguan kesadaran
(Price &Wilson, 1995). Pada saat kondisi tubuh mulai menurun pasien seperti
berjuang untuk tetap bertahan dari keadaan normal kondisi psikologis pasien
seperti berasa diambang kematian yaitu antara hidup dan mati. Dari ungkapan
ketiga partisipan merasakan bahwa dalam kondisi kritis seperti berada diambang
kematian. Menghadirkan keluarga dan mendengarkan suara atau bunyi – bunyian seperti
nyanyian atau musik, bacaan doa – doa yang familiar akan membantu otak tetap
aktif. Menurut penelitian di New York oleh Jeff Angel, musik yang akrab di
telinga pasien akan memperlambat kemunduran dan kerusakan fungsi kognitif sel –
sel otak sehingga membuat pasien mampu bertahan hidup. Mendengarkan nyanyian
juga membuat pasien seakan – akan kembali ke masa lalu ketika mereka dalam
keadaan sehat sehingga membantu mereka menghasilkan respons.
b. Pasrah
Dampak
keadaan psikologis partisipan setelah melewati kondisi kritis pada saat di
rawat di ruang intensif menurut partisipan adalah semakin dekat dengan Allah
dan ingat akan dosa – dosanya. Pada keadaan seperti ini pasien berada pada
tahapan tawar – menawar (bargaining) dengan tuhan. Pasien mulai
menerima, menangis dan menyesal akan kesalahan yang telah diperbuat,
mengekpresikan perasaan bersalah atau takut akan hukuman terhadap dosa masa
lalu. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah mendengar dengan
seksama dan mendorong untuk bicara tentang perasaan bersalah dan rasa takut
yang irasional, bersikap diam, mendengarkan dan memberikan sentuhan terapeutik
serta menawarkan spiritual support dalam keadaan yang tepat.
4. Pengalaman
Sosial Pada Saat Kondisi Kritis
Hasil
penelitian pengalaman sosial pada saat kondisi kritis didapatkan tiga tema yaitu:
1) Dukungan keluarga yang positif, 2) Tidak bisa berbicara dan 3) Tidak bisa
berinteraksi.
a. Dukungan
keluarga yang positif
Pada
saat kondisi krisis, keluarga memainkan peran dalam menurunkan kecemasan dan meningkatkan
keberhasilan adaptasi pasien. Dengan memahami cara suatu keluarga bereaksi
terhadap krisis, perawat dapat membantu dalam memahami daya tahan keluarga
dalam menghadapi stres. Perawat dapat membantu keluarga menggunakan kemampuan
penyelesaian masalah dalam menghadapi krisis.
b. Tidak
bisa berbicara
Partisipan
mengungkapkan pengalaman pada saat dipasang ventilator adalah tidak bisa
berbicara, gejala yang dikeluhkan pasien pada tindakan pemasangan selang
endotrakeal antara lain adalah: suara serak (hoarsenes)(Christensen,
1994). Suara tidak bisa keluar karena udara tidak bisa menggetarkan pita suara
yang bisa menghasilkan vokal konsonan, karena udara keluar melalui lubang
trakeostomi.
c. Tidak
bisa berinteraksi
Partisipan
mengungkapkan pengalaman pada saat tidak bisa berbicara adalah: ada perasaan
jengkel, kesal, emosi dan hanya menggunakan bahasa isyarat yang kadang susah
dimengerti oleh orang lain. Perawat sebagai komunikator merupakan pusat dari
seluruh peran perawat yang lain. Keperawatan mencakup komunikasi dengan pasien
dan keluarga, antar sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber
informasi dan komunitas. Kualitas komunikasi perawat dapat menentukan dalam
memenuhi kebutuhan oksigen pada pasien. Metode komunikasi alternatif harus
dikembangkan untuk pasien dengan ventilasi mekanik. Bila keterbatasan pasien
diketahui, perawat menggunakan pendekatan komunikasi; membaca gerak bibir,
menggunakan kertas dan pensil, bahasa gerak tubuh atau papan komunikasi. Ahli
terapi dapat membantu dalam menentukan metode yang paling sesuai untuk pasien.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada hasil penelitian dan
pembahasannya, maka dapat ditarik beberapa simpulan dari penelitian ini sebagai
berikut:
1. Peneliti
dapat mengidentifikasi pengalaman pasien Sindrom Guillain-Barre, pada saat
kondisi kritis.
2. Peneliti
dapat mengidentifikasi
a. Pengalaman
fisik pada saat kondisi kritis adalah: 1) Badan Lemah, 2) Sesak Nafas, 3) Rasa
Baal, 4) Nyeri tenggorokan dan 5) Batuk.
b. Pengalaman
psikologis pada saat kondisi kritis adalah: 1) Tidak Percaya 2) Sedih dan 3)
Takut.
c. Pengalaman
spiritual pada saat kondisi kritis adalah: 1) Seperti diambang kematian dan 2)
Pasrah.
d. Pengalaman
sosial pada saat kondisi kritis adalah: 1) Dukungan keluarga positif 2) Tidak
bisa berbicara dan 3) Tidak bisa berinteraksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Asbury, A.K. 1981. Diagnostic considerations in Guillain–Barré syndrome.
Annals of Neurology;9 (suppl):S1–S5.
Baughman, DC. 2000. Handbook for Brunner and Suddarth’s Texbook of
Medical-Surgical Nursing. Jakarta: EGC.
Berman, A. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb.Ed.5,
Jakarta: EGC.
Budiarto, G. 1993. Aspek Terapi Sindrom Guillain-Barre. Surabaya:
Ilmu Penyakit Saraf FK Unair/RSUD Dr. Sutomo.
Bungin, B. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif . Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
Burns, N & Grove,S.K. 1993. The Practice Of Nursing Research
Conduct, Critique &. (2nded). Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Christensen, A., Larsen, W.H., Lundby, L., & Jakobsen. 1994. Post
Operative Throat Camplaints After Tracheal Intubation. Br J, Anaesth,
7(73), 786.
Clark, M. 2005. About Guillain-Barre Syndrome. Melalui
<http://www.about-guillainbarre.com/> [22/10/11]
Creswell, J. W. & Miller, D. L. 2003. Determining validity in
qualitative inquiry. Theory into Practice, 39(3), 124-131.
Davey, P. 2005. Medicine At a Glance. Jakarta: Erlangga.
Dewanto, G, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Duke, D. L & Robert L, C. 1995. School Policy. New York: McGraw
Hill. Inc.
Engram, B. 1998. Medical-Surgical Nursing Care Plans. Jakarta: EGC.
Herdiansyah, H. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu – ilmu
Sosial. Jakarta:Salemba Humanika.
Hudak, C.M dan Gallo, B.M. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik. (Critical Care Nursing: A Holistic Approach (Allenidekania, B.
Susanto, Teresa & Yasmin, Trans 6 ed. Vol.1) Jakarta: EGC.
Hudak, C.M. 1997. Critical Care Nursing: A Holistic Approach.
Philadelphia: Lippincott.
Jacoby, D. B and Youngson, R.M. 2004. Encyclopedia Of Family Health.
3rd. Ed..
Tarrytown : Marshall Cavendish Corporation
Japardi, I. 2002. Sindrom Guillain Barre. http://library. usu. ac.id
/download/fk/bedahiskandar% 20japardi46. pdf [22/10/11]
Keeling, A. W. dan Ramos, M. C. (1995). Nurs Health Care: Perspectives on
Community.The role of nursing history in preparing nursing for the future, 16-30
Kozier, B. 2004. Fundamentals of Nursing: concepts, process, and
practice, Volume 1 Prentice Hall Health.
Langton, S. B. 2002. A First Step : Understanding Guillain-Barre
Syndrome. Victoria, B.C.Canada : National Library Of Canada.
Lanolle, B. S. 2005. Guillain-Barre Syndrome : Pathological, Clinical
And Theraupetical Aspects. New York : Nova Biomedical Books.
Mahfoed, M.H., Guillain Barre Syndrome Update, From Basic to Emergency,
dalam Pendekatan Terbaru Tata Laksana Penyakit Autoimun dengan IVIG 7S, konggres
Nasional V Perdossi Denpasar, 12 Juli 2003.
Moleong, J.L. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Morrison, P. 2009. Caring & Communicating : Hubungan Interpersonal
Dalam Keperawatan. Ed. 2. Jakarta.EGC
Morse, M. J.1996. Nursing Research : The Application Of Qualitative
Approaches. London :Chapman & Hall.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem
Persarafan .Jakarta : Salemba Medika.
Parry, G.J. (1993). Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime.
Parry, G.J. 2007. Guillain-Barre Syndrome: From Diagnosis to Recovery. Demos
Medical Publishing. American Academy of Neurology (AAN).
Poerwandari, E.K. 2001, Penelitian Kualitatif : Analisis dan
Interpretasi, Pelatihan Metode Kualitatif Tingkat Lanjut, Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI.
Polit, D & Beck, C. 2006. Essentials Of Nursing Research : Methods,
Appraisal and Utilization. 6th ed, Lippincott Williams & Wilkins, A
Wolter Kluwer Compay Philadelphia.
Potter, P. A., & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik (4 ed. Vol. 1). Jakarta: EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit (P.Anugerah, Trans. 4 ed.). Jakarta: EGC.
Rab, T. 2007. Agenda Gawat Darurat Pasien Kritis (Volume 1). Bandung
: ALUMNI.
Ronaldson, S. 2000. Spirituality: The Heart of Nursing. Ausmed
Publications
Schneider, Z. 2003. Nursing Research : Methods,, Critical Appraisal And
Utilisation.2th ed. Mosby. St Louis, Toronto.
Semiawan, C. R. 2009. Metode Penelitian Kualitatif Jakarta : PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia
Smeltzer, S. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.
Strauss, A. & Corbin, J. 1990. Basics of qualitative research:
Grounded theory procedures and techniques. Newbury Park, CA: Sage
Publications, Inc.
Streubert, H.J. and Carpenter. 1999. Qualitative Research in Nursing
Advancing the Humanistic Inperative, 2nd Edition. Philadelphia: J.B. Lippincott
Comp
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitaf,
Kualitatif dan R&D).Bandung: ALFABETA.
Supriyantoro. 2011. Pedoman Intensive Care Unit. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
Jakarta.
Swanson, J.W. 1998. Sindrom Guillain Barre. Mayo Foundation for
Medical Education and Research. Melalui http://www.mayoclinic.com/health/Ted,
M.B. 2008. Guillain-Barre Syndrome. Thieme Medical Publishers
Melalui<www.thieme.com> [3/10/11]
Van Koningsveld, R., Schmittz, P.I.M., Ang. C.W., et al, Infections and
Course of Disease dalam Mild Forms of Guillain-Barre Syndrome, Neurology 2002;
58(4):1.
Willms, J. 2003. Diagnosis Fisik, Evaluasi Diagnosis dan Fungsi di
Bangsal. (dr.Harjanto & dr.Linda Chandranata) Jakarta: EGC.
Worth, R. 2004. Elisabeth Kubler-Ross: Encountering death and dying.United
States of America: Chelse House Publisher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar